Awalnya Gue Bahagia

Semua mata seolah tersenyum ketika gue melangkahkan kaki kedalam ruangan putih, besar. Gue bisa lihat satu persatu dari yang ada disana adalah temen-temen yang memang gue harapkan kehadirannya.

Perasaan bangga, senang, dan gak nyangka. 

Gak nyangka karena, peristiwa ini ternyata cepet banget gue alamin, di usia 21.

Diujung sana ada pria yang ternyata adalah pilihan mama. Hmm.... not bad... Boleh lah. Toh pesta ini terselenggara juga karena dia. Dari segi muka, bukan tipe KDRT, jadi gue masih tidak menemukan masalah buat hidup sama dia yang gue ga tau siapa namanya.  


Waktu belum mengijinkan kami untuk membuat janji setia hingga maut memisahkan, memberi gue sedikit jeda buat naik ke sebuah balkon dimana gue bisa lihat semua yang ada disana. 

Tiba-tiba gue galau.

Lalu gue turun, berencana akan melanjutkan kegalauan gue diluar supaya otak lebih fresh.

Di sebelah kiri anak tangga terakhir, dia duduk. Orang yang selama ini gue kejar duduk disitu. Ga tau siapa yang ngundang, bentuk undangannya juga gue gatau..

Dia bilang gue cantik pake gaun ini. 

Gaun?

Gue raba, oiya, gue lagi pake gaun putih panjang yang bentuknya udah gue imajinasikan dari semenjak SMP..

"Kamu nyesel aku cantik hari ini bukan buat kamu?"

Kata-kata itu nyeplos gitu aja, mungkin karena gue kesel juga, kenapa bukan sama dia?? Kenapa malah sama orang lain yang gak gue kenal?? Kenapa lo gak ngomong aja dari dulu kalo lo juga suka jadi endingnya ga kaya gini!!

Gue udah gabisa nahan air mata, gue keluar melewati orang-orang yang keheranan, menuju taman. Rumputnya basah, bau habis hujan. 

Di depan tanaman pisang2an gue menangis, tetesan kecil sisa hujan jadi nilai tambah situasi pagi, siang atau sore yang masih mendung itu. 

"Aku tau kamu ga suka ini. Aku tau kamu masih pengen seneng-seneng sama temen-temen kamu. Iya kan? Jalan kamu masih panjang. Ini bukan akhir yang baik. Kamu gak tau siapa dia."

"Iya emang! Terus aku musti gimana? Bikin malu orang tua aku di depan orang-orang ini sekarang juga?"

Gue berdialog dengan dia yang tadi duduk disebelah kiri anak tangga terakhir. Menangis di pelukannya agar merasa tenang, itu merupakan suatu pemulihan yang luar biasa. 

Ini memang bukan jalan hidup yang gue pilih, dan gue harus memperjuangkannya. 

Genggaman tangannya berkata "Aku mendampingimu" tanpa harus diutarakan. Gue paham. 

Awalnya, ketika menginjak ruangan itu untuk pertama kalinya. gue berfikir kalo gue adalah perempuan yang bahagia karena akan menikah dengan pria yang uangnya cukup buat hidup foya-foya seumur hidup tanpa harus bekerja. Akhirnya, gue jauh lebih bahagia karena berani berjalan menuju perang bersama orang yang udah gue kenal lama. Rasanya jauh lebih menyenangkan daripada menyerahkan sisa umur kepada orang asing. 

Kami masih bergandengan, saling menguatkan. Di depan sana ada altar, ada orang tua, ada yang tadinya calon mertua dan yang tadinya calon suami menatap marah, perlahan  wajah-wajahnya ditutup sinar putih terang, sampai yang gue liat cuma warna putih. 

Gue liat jam dinding, oh, sudah jam8. Gue mules dan boker dengan suasana hati yang indah :)

Sayang kalo mimpi ini harus hilang sejalan waktu, makanya gue mengabadikannya lewat tulisan.

Happy Weekend!

Share:

0 komentar